Maternity protection is a form of protection for women to remain able to work without reducing the welfare of themselves and their children and family
Encouraging the Expansion of Social Security Employment Membership for Indonesian Migrant Workers (PMI)
07 October 2022
Kemiskinan ekstrem (KE) sebagai suatu permasalahan global telah mendorong negara-negara didunia menyepakati komitmen pembangunan secara global. Komitmen ini secara resmi disahkan pada tahun 2000 dalam rumusan Millenium Development Goals (MDGs). Kemiskinan ekstrem menjadi poin pertama di dalam MDGs dengan target penurunan hingga 50% di tahun 2015. Laporan MDGs oleh United Nations di tahun 2017 menyebutkan bahwa semula terdapat 1,9 miliar jiwa secara global hidup dalam kemiskinan ekstrem di tahun 1990.
Pada tahun 2015 jumlah masyarakat global yang hidup dalam kemiskinan ekstrem menurun hingga 836 juta jiwa. Maknanya, secara global angka kemiskinan berhasil ditekan bahkan lebih dari target 50%. Pencapaian di tahun 2015 ini menjadi optimisme negara-negara untuk melanjutkan pengentasan kemiskinan ekstrem. Sehingga disepakati komitmen global berkelanjutan yang ditargetkan tercapai pada tahun 2030 yakni Sustainable Development Goals (SDGs). Pada SDGs ini, kemiskinan ekstrem juga menjadi sub-poin pertama dengan target menghapus secara menyeluruh kemiskinan ekstrem di tahun 2030, meski kemudian target berubah akibat pandemi Covid-19. Tetapi Presiden Republik Indonesia menetapkan target nasional angka kemiskinan ekstrem hingga 0% dengan waktu lebih cepat dari target global. Presiden menginginkan terget ini tercapai pada tahun 2024. Hal ini semata-mata karena Indonesia dirasa memiliki potensi dan sumber daya yang memadai untuk mencapai target tersebut.
Potensi Indonesia dapat dilihat dari tren angka kemiskinan yang cenderung mengalami penurunan. Jika kita melihat pada situasi kemiskinan ekstrem pada tahun 1984 hingga 2021, Indonesia memiliki capaian yang cukup baik. Kita dapat melihat dari grafik di bawah ini bahwa terdapat fluktuasi di beberapa tahun, tetapi tren cenderung turun bahkan signifikan pada beberapa periode.
Pada tahun 2021 tingkat kemiskinan ekstrem secara nasional sekitar 2,14%. Kemudian mengalami penurunan menjadi 2,04% per Maret 2022 seperti yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Maknanya jika ingin mendekati 0% pada tahun 2024, diperlukan penurunan 1 percentage point. Hal ini tampak kecil dari angka, tetapi realitanya kita sama-sama tahu menurunkan 1 percentage point bukan pekerjaan mudah, membutuhkan kerja extra keras dengan memastikan sumber daya yang kita miliki dikelola dengan efektif. Apalagi ditambah fakta yang mempengaruhi kemiskinan ekstrem banyak (multidimensi) dan kondisinya dinamis, tidak pasti selalu turun. Jika pada awal 2022 ini penurunan tercatat hanya 0,1% maka kita perlu meningkatkan kapasitas kita 10 kali lipat untuk mencapai target di tahun 2024. Hal ini tidak mustahil, memang ambisius, tapi bukan sesuatu yang tidak bisa kita capai.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) telah merumuskan 4 (empat) prasyarat utama untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem hingga di bawah 1%. Prasyarat tersebut meliputi pemulihan pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga kebutuhan pokok, tingkat akurasi penetapan sasaran yang tinggi, serta kolaborasi dan komplementaritas pelaksanaan program. Melalui keempat prasyarat tersebut diharapkan dapat mencapai target optimis kemiskinan ekstrem 0% atau target moderat maksimal 1% di tahun 2024. Penetapan target optimis dan moderat tersebut bukan semata-mata tanpa alasan, melainkan berkaca pada pembelajaran hasil evaluasi intervensi kemiskinan ekstrem yang telah dilaksanakan pada tahap 1.
Pada tahap 1 kinerja intervensi program penanggulangan kemiskinan ekstrem dinilai belum optimal dikarenakan masih tingginya persentase keluarga di desil 1 yang belum menerima bantuan sosial. Persentase penerima bantuan sosial rutin (PKH, Sembako, dan lainnya) pada desil 1 (D1) yaitu 57,53% dan yang tidak menerima sebesar 42,47%. Di sisi lain, persentase penerima Top-Up Bansos (BLT-Desa dan Sembako) pada desil 1 (D1) baru sekitar 9,29% dengan yang tidak menerima sebesar 90,71%. Dari sini dapat kita ketahui bahwa realisasi penyaluran top-up bansos masih rendah dan lebih rendah dibandingkan bantuan sosial rutin. Oleh karena itu, diperlukan penyempurnaan penetapan sasaran dan perluasan program pemberdayaan untuk meningkatkan efektivitas program intervensi kemiskinan ekstrem hingga tahun 2024.
Untuk meningkatkan efektivitas program intervensi kemiskinan ekstrem terdapat 5 skenario intervensi program yang dirancang untuk dilakukan. 5 skenario intervensi program tersebut terbagi ke dalam Intervensi Parsial dan Konvergensi Program. Program intervensi parsial terdiri dari 4 skenario, yaitu program Sembako, PKTD, PKT-K/L, dan Pasang Listrik. Sedangkan, skenario kelima adalah konvergensi program, yang di dalamnya merupakan pemberian seluruh program intervensi parsial yang dilaksanakan secara simultan (Sembako, PKTD, PKT-K/L, dan Pasang Listrik). Keterangan lebih lanjut terkait dengan penjelasan kelima skenario ini dapat dilihat pada Infografis Menuju Kemiskinan Ekstrem 0% Tahun 2024 yang dapat diakses melalui https://repository.tnp2k.go.id.
Melalui perumusan 4 prasyarat utama dan kelima skenario tersebut, diharapkan dapat mencapai penurunan tingkat kemiskinan ekstrem. Tingkat kemiskinan ekstrem disimulasikan berada pada angka 0,89% di tahun 2023 dan mencapai 0,76% di tahun 2024. Untuk itu, kolaborasi K/L serta peran aktif pemerintah daerah diperlukan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan ekstrem melalui konvergensi pelaksanaan program yang lebih efektif dan efisien serta memastikan penyaluran bantuan sosial tepat sasaran melalui perbaikan data sasaran penerima manfaat.